Degradasi ekspektasi terjadi ketika pembicaraan yang biasanya berkutat pada “Berapa gelar yang diraih Indonesia dalam sebuah turnamen badminton?” menjadi “Ada gak ya wakil Indonesia di final?”
Kenyataan yang ada di atas memang menyedihkan. Namun hal itulah yang saat ini sedang muncul di permukaan. Kegagalan demi kegagalan yang terjadi sepanjang 2023 membentuk dua sikap penggemar badminton Indonesia. Sikap pertama adalah menuntut perubahan di tubuh PBSI yang lalu diikuti ekspektasi yang menurun dan bahkan cenderung berpasrah diri terhadap hasil demi hasil yang didapat pemain-pemain Indonesia di turnamen yang diikuti.
Turnamen pertama di 2024 kemudian memberi penegasan bahwa situasi belum banyak berubah di tubuh Tim Badminton Indonesia. Malaysia Open berakhir tanpa ada pemain Indonesia yang bisa jadi juara. Bahkan, nama Indonesia sudah tak tersisa pada dua langkah sebelum podium tertinggi juara. Indonesia tak lagi punya wakil di partai semifinal yang berarti masih menyisakan 20 slot pemain/ganda.
Kegagalan di Malaysia jelas jadi alarm lanjutan, dari sekian alarm-alarm keras yang sudah berbunyi sepanjang 2023. Namun bila merujuk komentar Agung Firman, orang nomor satu PBSI di awal tahun tidak sepenuhnya menyadari atau mengakui bahwa Tim Badminton Indonesia benar-benar mengalami penurunan.
Sebagai pengingat, hal yang paling berbahaya dari situasi darurat adalah ketika tokoh utama tidak sadar bahwa situasi memang sedang dalam kondisi darurat. Tanpa kesadaran diri dan kelapangan dada mengakui bahwa Badminton Indonesia sedang tidak baik-baik saja, Agung Firman telah melakukan mengambil langkah yang salah terhadap pondasi awal menyambut 2024.
Padahal tanpa gelar di Asian Games, ditambah nihil gelar di Kejuaraan Dunia dan BWF World Tour Finals sudah jadi indikasi yang jelas. Bahkan predikat ‘meredup’ pun masih sangat bisa diperdebatkan karena bisa jadi ada kata lain yang lebih mewakili kegagalan Indonesia di turnamen-turnamen besar sepanjang 2023.
WhatsApp us